Cara Ampuh Membungkam Wahabi Sang Ahlul Fitnah Dari Najed!
Salah satu ajaran yang dianut oleh Wahabi adalah keengganan mereka menerima konsep majaz (metafora) dalam Al-Qur’an. Karena itu, dalam pandangan mereka, ayat-ayat Al-Qur’an haruslah dipahami secara literal dan apa adanya.
Sepintas dalam konsep ini tampak baik-baik saja, namun menjadi problem ketika dikaitkan dengan ayat-ayat sifat yang dalam rumpun ilmu usul fikih masuk kategori lafaz mutasyabihat. Secara sederhana lafaz mutasyabihat dimaknai dengan lafaz yang redaksinya tidak menunjukkan makna yang dimaksud, tidak ditemukan indikator verbal (qarinah kharijiyah) yang bisa menjelaskan dan hanya Allah yang mengetahui.
Termasuk lafaz mutasyabihat, pertama, adalah huruf Al-Qur’an yang terpotong-potong yang umumnya ada di awal-awal surat (al-Huruf al-Muqatta’ah) seperti, Nun (ن) Yasin (يسن), Kaf Ya Ha Ain Shod (كيهعص) dan beberapa contoh lain.
Kedua adalah ayat sifat (ayat al-Shifat) yang secara zahir ada potensi menyerupakan Allah Swt dengan makhluk (al-Ayat al-Lati Zahiruha Anna Allah yusybihu khalqahu) seperti:
یَدُ ٱللَّهِ فَوۡقَ أَیۡدِیهِمۡۚ
“Kekuasaan Allah Swt. di atas mereka.”
كُلُّ شَیۡءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجۡهَهُۥۚ
“Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah Swt.”
كُلُّ مَنۡ عَلَیۡهَا فَانࣲ (٢٦) وَیَبۡقَىٰ وَجۡهُ رَبِّكَ ذُو ٱلۡجَلَـٰلِ وَٱلۡإِكۡرَامِ
“Semua di bumi akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemulian.”
Makna ketiga ayat di atas jika mengikuti alur fikir Wahabi, yaitu dimaknai dengan literal bisa sangat berisiko. misal yang pertama: “Tangan Allah Swt. di atas tangan-tangan mereka” kedua: “Segala sesuatu akan binasa kecuali ‘Wajah-Nya”. ketiga: “Semua hal akan sirna, dan Tetap ‘wajah’ Tuhanmu, yang memiliki keagungan dan kemulian”. Itu semua akan mengarahkan kepada penyerupaan Allah Swt kepada makhluk. Dan ini sangat dilarang.
Berbeda dengan manhaj yang dianut oleh Ahlussunnah, bahwa ketika berkaitan dengan ayat sifat maka ada dua jalan yang ditempuh, yaitu pertama, al-tawwaquf, diam menyerahkan makna yang dimaksud sepenuhnya kepada Allah Swt. Kedua, menakwil dan mengarahkan kepada makna yang layak, misal “yadd” dimakna kekuasaan dan lain sebagainya. Keduanya disebut takwil, bedanya yang pertama disebut takwil ijmali yang kedua takwil tafsili.
Dasar normatif yang dipakai mazhab ini adalah firman Allah Swt.
هُوَ ٱلَّذِیۤ أَنزَلَ عَلَیۡكَ ٱلۡكِتَـٰبَ مِنۡهُ ءَایَـٰتࣱ مُّحۡكَمَـٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلۡكِتَـٰبِ وَأُخَرُ مُتَشَـٰبِهَـٰتࣱۖ فَأَمَّا ٱلَّذِینَ فِی قُلُوبِهِمۡ زَیۡغࣱ فَیَتَّبِعُونَ مَا تَشَـٰبَهَ مِنۡهُ ٱبۡتِغَاۤءَ ٱلۡفِتۡنَةِ وَٱبۡتِغَاۤءَ تَأۡوِیلِهِۦۖ وَمَا یَعۡلَمُ تَأۡوِیلَهُۥۤ إِلَّا ٱللَّهُۗ وَٱلرَّ ٰسِخُونَ فِی ٱلۡعِلۡمِ یَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلࣱّ مِّنۡ عِندِ رَبِّنَاۗ وَمَا یَذَّكَّرُ إِلَّاۤ أُو۟لُوا۟ ٱلۡأَلۡبَـٰبِ﴾
“Dia Yang Menurunkan al-Kitab (Alquran) kepadamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat muhkamat, itulah pokok isi Alquran dan yang lain-lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat mutasyabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Para ulama berkata, “Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami”. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) kecuali orang-orang yang berakal”.
Salah satu hal yang membuat dua mazhab ini lahir adalah perbedaan tentang dimana wakaf atau titik berhenti pada ayat di atas. Mazhab pertama memilih, wakaf di lafaz “Illa al-Allah”, jadi La ya’lamu ta’wilahu illa al-Allah, tak mengetahui takwil lafaz mutasyabihat kecuali Allah Swt. Sementara mazhab kedua memilih wakaf sampai wa al-Rasikhuna fi al-Ilmi, tak ada yang megetahui takwil lafaz mutasyabihat kecuali Allah Swt. dan orang yang orang memiliki kedalaman ilmu.
Corak pertama sering disebut dengan metode salaf (thariqah al-Salaf) sementara corak kedua disebut dengan metode khalaf (thariqah al-Khalaf). penting ditegaskan bahwa corak kedua ini bukan tanpa dasar lebih memilih untuk menakwilkan. Dalam pandangan mereka, ayat-ayat sifat mustahil dimaknai apa adanya.
Potensi menyerupkan Allah Swt. sangat besar, sementara di ayat lain ditegaskan secara terang benderang bahwa Allah Swt. tak ada yang menyerupai-Nya (Laisa Kamistlihi syai’un). Maka yang dipilih adalah mengembalikan lafaz mutasyabihat kepada lafaz muhkamat (raddu al-Mutasyabihat ila al-Muhkamat)
Syahdan, Syaikh Abdullah al-Sinqiti berdebat dengan salah seorang ulama Wahabi yang (mohon maaf) tuna netra. kebetulan tema yang diperdebatkan adalah seputar ayat-ayat sifat. Sebagaimana para pendahulunya, ulama Wahabi ini bersikeras menolak ada konsep majaz dalam Al-Quran.
Kemudian, Syaikh Abdullah al-Syinqiti menyodorkan satu ayat. Lalu ia bertanya, jika memang demikian, bagaimana pendapatmu tentang ayat ini?
﴿وَمَن كَانَ فِی هَـٰذِهِۦۤ أَعۡمَىٰ فَهُوَ فِی ٱلۡـَٔاخِرَةِ أَعۡمَىٰ وَأَضَلُّ سَبِیلࣰا﴾
Ayat di atas jika dimaknai secara sederhana, kira-kira maknanya begini, “Barang siapa yang di dunia buta maka di akhirat ia buta dan lebih sesat jalannya”. Sementara menurut Aswaja maknanya–sebagaimana menurut al-Hasan al-Basri–adalah “Barang Siapa di dunia kafir, sesat dan tak mau menerima bukti-bukti adanya Allah Swt. maka di akhirat kelak ia lebih sesat dan lebih sesat”. Jadi yang dimaksud buta dalam ayat ini adalah buta non-fisik bukan buta fisik dan ini bukti bahwa konsep majaz ada dalam Al-Qur’an sebagaimana keyakinan Ahlussunnah wal Jamaah.
Mendengar pertanyaan Syaikh Abdullah, ulama Wahabi berang bukan alang kepalang. Dia marah-marah dan memerintahkan anak buahnya untuk mengusir Syaikh Abdullah al-Sinqiti dari forum perdebatan. Hingga akhirnya, ia juga meminta Raja Ibnu Saud untuk mendeportasi al-Sinqiti ke Mesir.
Disadur dari:
Kisah guru saya Kiai Abdillah Mukhtar, salah seorang kiai santri Sayyid Muhammad ibn Alawi al-Maliki, tokoh sunni di Mekkah.
Ditulis oleh Syaikh Ahmad ibn Muhammad al-Siddiq al-Ghumari dalam al-Junnatu al-Atthar.
Komentar
Posting Komentar