Allah SWT Bukanlah Mahkluk,Benda Atau Jisim Seperti Kata Wahabi
Menolak paham sesat Kaum Mujassimah wahabi salafi ; Kaum Yang Mengatakan Bahwa Allah Sebagai Benda (Jism)
Jika ada yang berkata: ”Telah diriwayatkan dalam dua kitab Sahih (Sahih Bukhari dan Sahih Muslim) dari hadits Syuraik bin Abi Namir dari Anas bin Malik dalam menceritakan peristiwa Mi’raj, bahwa ia (Anas bin Malik) berkata:
(قيل) فَعَلاَ بهِ إلَى الْجَبَّار تَعَالَى
[Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil, mengatakan: “Maka Rasulullah terus naik [bersama Jibril] kepada Allah”. Makna literal ini seakan menetapkan bahwa Allah bertempat di arah atas].
Lalu dalam riwayat ini pula, bahwa ia (Anas bin Malik) berkata:
(قيل) وَهُوَ فِي مَكَانهِ: يَا رَبّ خَفّفْ عَنّا
[Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil, makna literal ini seakan mengatakan bahwa Allah berada pada suatu tempat, lalu Rasulullah berdoa kepada-Nya: ”Ya Allah ringankan (perintah shalat itu) dari kami”].
Jawab: ”Imam Abu Suliman al Khath-thabi telah mengatakan bahwa redaksi di atas hanya berasal dari Syuraik seorang saja (تفرّد بها شريك). Redaksi seperti itu tidak pernah disebutkan oleh siapapun selain oleh Syuraik, dan Syuraik ini adalah orang yang banyak meriwayatkan hadits-hadits dengan redaksi yang lain dari para perawi lainnya; ”كثير التفرد بمناكير الألفاظ”. Kemudian, ”tempat” itu tidak boleh dinyatakan bagi Allah [karena Allah bukan benda], adapun redaksi ”وهو في مكانه” [artinya; ”Dan dia berada di tempatnya”] yang dimaksud ”dia” di sini adalah Rasulullah. [artinya bahwa Rasulullah kembali ke tempatnya semula saat beliau menerima wahyu, dan di tempat itulah beliau berdoa kepada Allah agar diringankan perintah shalat atas umatnya].
Semakna dengan pemahaman hadits ini; hadits lainnya yang berbunyi:
(قيل) فَاسْتَأذَنْتُ عَلى رَبّي وَهُوَ فِي دَارِه
[Makna literal riwayat ini tidak boleh kita ambil, mengatakan: ”Aku meminta izin kepada Tuhanku, dan Dia sedang berada di rumah-Nya”. Makna literalnya seakan menetapkan tempat bagi Allah].
Bukan maksud hadits ini bahwa Allah bertempat di sebuah rumah, tetapi yang dimaksud adalah rumah atau tempat tinggal yang dimuliakan oleh Allah bagi para wali-Nya. [Ini yang dimasud dengan Idlâfah at-Tasyrîf, Imam al-Baihaqi dalam kitab al-Asma’ Wa ash-Sihfat mempertegas bahwa yang dimaksud adalah surga). Bahkan al-Qâdlî Abu Ya’la sendiri dalam kitabnya yang berjudul al-Mu’tamad telah menetapkan bahwa Allah tidak disifati dengan tempat.
[Ayat Pertama]:
Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang seringkali disalahpahami oleh kaum Mujassimah adalah firman Allah:
أأمنْتُمْ مَنْ فِي السّمَاء (الملك: 16)
[Makna literal ayat ini tidak boleh kita ambil, makna literalnya mengatakan seakan Allah berada di langit: ”Adakah kalian merasa aman terhadap yang ada di langit?”].
Argumen kuat dan nyata telah menegaskan bahwa yang dimaksud ayat ini bukan dalam makna zahirnya [seperti pemahaman sesat kaum Musyabbihah yang menyimpulkannya bahwa Allah berada di langit], karena dasar kata ”في” [yang artinya ”di dalam”] dalam bahasa Arab dipergunakan untuk mengungkapkan sesuatu yang ”berada di dalam sebuah tempat dengan diliputi oleh tempat itu sendiri”( للظرفية ); padahal Allah tidak diliputi oleh suatu apapun. Pemahaman ayat di atas tidak sesuai jika dipahami dalam makna indrawi seperti ini, karena bila demikian maka berarti Allah diliputi oleh langit [dan itu artinya bisa jadi sama besar, lebih besar, atau lebih kecil dari langit itu sendiri]. Pemahaman yang benar adalah bahwa ayat tersebut untuk mengungkapkan keagungan dan kemuliaan Allah.
[Ayat Ke Dua]:
Di antara ayat lainnya, firman Allah:
يَا حَسْرَتَى عَلَى مَا فَرّطْتُ فِي جَنْبِ الله (الزمر: 56)
[Makna literal ayat ini tidak boleh kita ambil, makna literalnya mengatakan: ”Alangkah besar penyesalanku atas kelalaianku dalam pinggang Allah”. Pemahaman literal seperti ini menyesatkan karena menetapkan anggota badan bagi Allah].
[Makna ”al-Janb”, ”الجنب” dalam ayat ini bukan artinya ”pinggang” seperti pemahaman sesat kaum Mujassimah], tetapi yang dimaksud dengan ”في جنب الله” adalah ”في طاعة الله وأمره”; maka pemahaman yang benar bagi ayat tersebut adalah: ”Alangkah besar penyesalanku atas kelalaianku dalam ketaatan kepada Allah dan melalaikan perintah-Nya”. Sesungguhnya kelalaian (at-Tafrîth) itu hanya terjadi dalam berbuat baik kepada-Nya, adapun ”al-Janb” dalam makna pinggang yang merupakan anggota badan; sedikitpun tidak pernah ada ungkapan yang mengatakan adanya kelalaian (at-Tafrîth) di sana.
Sementara Ibnu Hamid al-Mujassim berkata: ”Kita beriman bahwa Allah memiliki pinggang dengan dasar ayat ini”.
Apa yang dinyatakan Ibnu Hamid ini sangat aneh dan menggerankan, betul-betul tanpa dasar logika. Padahal makna at-Tafrîth (kelalaian) ini tidak pernah terjadi pada ”Janb” (makna pinggang; anggota badan) yang ada pada makhluk, lalu dari mana ia menetapkan bagi Allah makna ”al-Janb” sebagai makna ”pinggang” dan bahkan menetapkan at-tafrîth (kelalaian) bagi makna tersebut?
Dalam sebuah syair, Tsa’labah berkata:
خَلِيْلِيْ كِفَا وَاذْكُرَا الله فِي جَنْبِي
[Maknanya: ”Wahai kekasihku, hentikanlah [ratapanmu], aku perintahkan engkau sebutlah nama Allah”].
Makna kata ”في جنبي” dalam bait sya’ir ini adalah ”في أمري”; artinya ”Dengan perintahku” atau ”Aku perintahkan kepadamu”. Bait sya’ir tersebut bukan bermakna: ”Sebutlah nama Allah pada pinggangku”, [tentunya pemaknaan seperti ini menyesatkan].
[Ayat Ke Tiga]:
Di antara ayat lainnya, firman Allah:
فَنَفَخْنَا فِيْها مِنْ رُوْحِنَا (الأنبياء: 91)
[Makna literal ayat ini tidak boleh kita ambil, makna literalnya mengatakan: ”Maka Kami (Allah) tiupkan padanya (Maryam) dari ruh Kami”. Makna literal ini seakan mengatakan bahwa Allah adalah ruh yang sebagian dari ruh tersebut adalah ruh Nabi Isa].
[Makna ayat ini bukan seperti pemahaman sesat kaum Musyabbihah yang mengatakan bahwa Allah adalah ruh yang kemudian sebagian ruh tersebut dibagikan kepada Nabi Isa saat menciptakannya]. Para ahli tafsir berkata: ”Yang dimaksud ”Min Rûhinâ” , ”من روحنا” adalah ”Min Rahmatinâ”, ”من رحمتنا” ; artinya bahwa Allah memberikan rahmat dan kemuliaan bagi Nabi Isa. Adapun penyebutan kata ”روح” dalam ayat tersebut dengan disandarkan kepada Allah (yaitu kepada zhamîr ”نا”) adalah karena kejadian peristiwa tersebut (penciptaan Nabi Isa) dengan perintah Allah.
[Ayat Ke Empat]:
Di antara ayat lainnya, firman Allah:
يُؤْذُوْنَ اللهَ (الأحزاب: 57)
[Ayat ini tidak boleh dipahami dalam makna literalnya yang seakan bahwa Allah disakiti atau diperangi].
[Makna ayat ini bukan artinya Allah yang disakiti, oleh karena siapakah yang dapat mengalahkan Allah?], tetapi yang dimaksud dengan ”يؤذون الله” dalam ayat ini adalah dalam makna: ”Yu-dzûna Awliyâ-ahu”, ”يؤذون أوليائه” ; artinya yang disakiti di sini adalah para wali Allah. Contoh penggunaan bahasa seperti ini seperti dalam ayat lainnya dalam QS. Yusuf: 82, Firman Allah:
وَاسْأل الْقَرْيَة (يوسف: 82)
[Makna literal ayat ini: ”Tanyalah ke kampung!!”].
Firman Allah ini bukan artinya: ”Bertanyalah ke kampung!!”, [Bagaimana mungkin kampung akan berkata-kata], tetapi yang dimaksud adalah: ”Bertanyalah kepada penduduk kampung tersebut”.
Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda:
أُحُدٌ جَبَلٌ يٌحِبُّنَا وَنُحِبّهُ
[Maknanya: “Gunung Uhud adalah gunung yang mencintai kita, dan kita mencintainya”. (Yang dimaksud adalah penduduknya)].
Seorang penyair berkata:
أنْبئْت أنّ النّارَ بعدكَ أوْقِدَتْ واستبّ بعدكَ يَا كليْب الْمَجْلس
[Maknanya: “Engkau diberitahukan bahwa api telah dinyalakan jauh darimu, dan api itu melahap kejauhanmu wahai orang yang terlena di tempat”. (yang dimaksud adalah bahwa api itu membesar dan mendekati orang itu)].
[Ayat Ke Lima]:
Di antara ayat lainnya firman Allah:
هَلْ يَنْظُرُوْنَ إلاّ أنْ يَأتِيَهُمُ اللهُ فِي ظُلَلٍ مِنَ الْغَمَام (البقرة: 210)
[Ayat ini tidak boleh dipahami dalam makna literalnya, mengatakan: ”Tidakah mereka (orang-orang kafir) menunggu-nunggu kecuali kedatangan Allah kepada mereka dalam kegelapan dari awan?!”. Makna literal ini seakan mengatakan bahwa Allah akan datang, artinya pindah dari suatu tempat ke tampat lain, dan bergerak, serta seakan Allah mengendarai awan].
[Pemahaman ayat ini tidak seperti kesimpulan sesat kaum Musyabbihah yang mengatakan bahwa Allah akan datang kepada orang-orang kafir dalam kegelapan awan, dalam pemahaman mereka bahwa Allah bergerak dan pindah dari suatu tempat ke tempat lain], tetapi pemahaman yang benar adalah bahwa kata “في ظلل” dalam ayat tersebut adalah dalam pengertian “بظلل”; artinya Allah akan mendatangkan kepada mereka (orang-orang kafir) awan gelap yang merupakan siksaan bagi mereka. [Allah bukan benda; Dia tidak disifati dengan datang, bergerak, dan ataupun berpindah-pindah].
Demikian pula dengan firman Allah:
وَجَاءَ رَبُّكَ (الفجر: 22)
[Ayat ini tidak boleh dipahami dalam makna literalnya, yang mengatakan seakan Allah akan datang; bergerak dan pindah dari suatu tempat ke tempat yang lain].
[Kata ”Jâ’a”, “جاء” pada hak Allah dalam ayat ini bukan dalam pengertian datang, bergerak, dan atau berpindah dari satu tempat ke tampat lain]. Al-Qâdlî Abu Ya’la sendiri telah meriwayatkan dari Imam Ahmad bin Hanbal bahwa ia (Ahmad) memaknai firman Allah QS. Al Baqarah: 210 “أن يأتيهم الله” dengan mentakwilnya, Imam Ahmad berkata: “Yang dimaksud ayat ini adalah datangnya tanda-tanda kekuasaan Allah dan perintah-Nya (قدرته وأمره)”. Pemahaman Imam Ahmad ini beliau simpulkan dari firman Allah sendiri dalam ayat lainnya, yaitu “ويأتي أمر ربك”. Tidak hanya itu, bahkan dalam kitab Taurat sekalipun dalam pemahaman “وجاء ربك” disebutkan bahwa yang dimaksud adalah datangnya tanda-tanda kekuasaan Allah.
Sementara Ibnu Hamid al-Mujassim berkata: “Pemahaman dengan takwil seperti itu adalah pemahaman yang salah, yang benar adalah bahwa Allah akan turun dengan Dzat-Nya dengan cara berpindah”.
Aku (Ibnul Jawzi) berkata: “Ungkapan Ibnu Hamid ini jelas dalam makna indrawi. Ungkapannya ini tidak beda dengan pembicaraan masalah benda”.
Imam Ibnu Aqil [salah seorang ulama Ahlussunnah dalam madzhab Hanbali] dalam menjelaskan firman Allah QS. Al Isra: 85 “قل الروح من أمر ربي”; [Katakan wahai Muhammad bahwa ruh itu adalah urusan Tuhanku], berkata: “Dengan ayat ini Allah telah melarang setiap makhluk-Nya untuk tenggelam (mempertanyakan) sesuatu yang padahal notabenenya makhluk (yaitu ruh), terlebih lagi untuk tenggelam mempertanyakan tentang (hakikat) Allah maka itu lebih terlarang”.
Para ulama menuliskan sya’ir berikut:
كَيْفِيّةُ النّفْسِ لَيْسَ الْمَرْءُ يُدْرِكُهَا فَكَيْفَ كَيْفيّة الْجَبّار فِي الْقِدَمِ
[Maknanya: “Hakikat jiwa tidak ada seorang-pun yang dapat meraihnya, maka terlebih lagi meraih hakikat Allah (yang maha perkasa) pada sifat Qidam-Nya”].
Referesensi : DAF'U SYUBAH AT-TASYBIH BI-AKAFF AT-TANZIH.
all-Hafidz Abul Faraj Ibnul al-Jauzi al-Hanbali
Komentar
Posting Komentar